Iwan H. Suriadikusumah
Airline Transport Pilot Licence No.1310
|
Kompas, 16 Maret 21014
TULISAN Chappy Hakim berjudul ”Hilangnya Pesawat Malaysia Airlines”
(Kompas, 11/3/2014) perlu dilengkapi agar memberikan pengetahuan yang lebih
komprehensif kepada khalayak pembaca.
Sebagai marsekal purnawirawan, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara ini
juga menerbangkan pesawat C130 Hercules TNI AU, pesawat bermesin baling-baling
turbo prop. C130 Hercules mampu terbang dengan kecepatan maksimum 290 knot di high
altitude dan antara 210-250 knot di low altitude.
Maksimum ketinggian yang dicapai 33.000 kaki, tetapi biasa diterbangkan
hanya pada ketinggian sekitar 28.000 kaki atau lebih rendah dari itu. Berat massa
45.000 kg atau 100.000 lbs.
Chappy membahas pesawat Airbus A330, pesawat tercanggih dunia saat AF447
mengalami musibah. Pesawat itu mampu terbang maksimum di ketinggian 41.000
kaki. Kecepatannya dihitung dengan Mach Number, yakni perbandingan
kecepatan pesawat dengan kecepatan suara pada ketinggian tersebut.
Kecepatan terbang normalnya M0.82 (artinya 0,82 x kecepatan suara pada
ketinggian tersebut) ekuivalen dengan kl 470 knot (hampir dua kali kecepatan
C130 Hercules) pada ketinggian 36.000 kaki, atau maksimum 0.86 (0,86 x
kecepatan suara) di 36.000 kaki.
Filosofi menerbangkan Airbus A330 tentu jauh berbeda dengan C130
Hercules.
Pengalaman
terbang
Saya mantan penerbang Airbus A330 dan pernah mengalami peristiwa seperti
AF447. Kejadian itu tahun 1997 dalam penerbangan dari Jepang menuju Jakarta,
kira-kira 2 tahun sebelum musibah AF447.
Sayang, entah apa yang terjadi, flight recorder pesawat A330 yang
saya terbangi itu hilang dan tidak pernah ditemukan sampai saya meninggalkan
Garuda Indonesia untuk menjadi kapten pilot Airbus A330 di Korean Air, 1999.
Tidak jelas pula mengapa Garuda Indonesia tidak pernah merasa penting
untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi. Baik pada raibnya flight
recorder maupun detail kejadian.
Kalau saja sebaliknya yang terjadi, besar kemungkinan musibah AF447 bisa
dicegah karena pabrik Airbus pasti akan serius menangani masalah itu.
Airbus kemudian mengganti sistem static/pitot A330 penyebab musibah pada
semua pesawat Airbus A330. Tipe barang ini dari vendor awal terbukti sangat
rentan clogging/tersumbat hanya karena pesawat menembus awan tipis yang
mengandung es lembut, yang berdampak pada tidak berfungsinya Airspeed
Indicator (ASI) dan berlanjut pada reaksi berantai yang fatal seperti
penerbangan AF447.
Dalam hal ini, Indonesia kehilangan andil untuk tercatat dalam perbaikan
penerbangan gara-gara tidak menindaklanjuti gangguan yang berhasil kami atasi
dua tahun sebelumnya.
Trip Report saya mengenai penerbangan
itu seharusnya masih ada di file Operasi dan Teknik Garuda karena flight
recorder pesawat A330 bersangkutan sudah dilepas dan dikirim kembali ke
Jakarta saat pesawat parkir di salah satu bandara di Jepang. Sayang upaya ini
tidak ditindaklanjuti dan dituntaskan.
Dalam menerbangkan pesawat raksasa sebesar dan seberat Airbus A330,
jangankan mengatasi stall atau unusual attitude, sekadar terbang Straight
and Level pada keadaan VFR/Visual Flight Rules in a broad daylight
pada ketinggian 35.000-39.000 kaki tanpa Airspeed Indicator adalah
mustahil.
Apalagi kalau dalam keadaan IFR/Instrument Flight Rules ditambah
lagi pesawat sudah telanjur masuk awan kumulonimbus yang galak dan
terperangkap keadaan unusual attitude.
Pilot yang punya pengalaman dan masih mampu memakai akal sehatnya tidak
akan mengambil alih kemudi dan tidak akan menyentuh flight control sama
sekali. Ini berlawanan dengan filosofi terbang pesawat zaman sebelum perang.
Meskipun bentuknya hampir mirip (supaya pilot tidak merasa stres karena
dipaksa mengubah kebiasaan terlalu drastis), cara memanipulasi joy stick untuk
mengontrol pesawat bersistem fly by wire (FBW) berbeda sama sekali
dengan pesawat konvensional zaman PD II.
Maka terlalu dini untuk mengevaluasi apa yang terjadi pada pesawat MH370,
tetapi terlalu ceroboh dan sungguh tidak adil kalau menyimpulkan bahwa
pilot-pilot Airbus A330 Air France AF447 yang naas itu tidak mahir mengatasi stall
tengah malam dalam guncangan-guncangan kumulonimbus pada ketinggian di
atas 30.000 kaki saat pesawat kehilangan Airspeed Indicator yang sangat
vital dalam menerbangkan pesawat apa pun.
Mengatasi stall pesawat Cessna 150 pada keadaan VFR/full visual
di ketinggian 2.500 feet itu mudah meski tanpa Airspeed Indicator
sekalipun.
Cukup banyak pilot senior yang pandai dan penuh pengetahuan, tetapi
sangat kurang sense of real flight-nya karena mereka jarang terbang.
Bandingkan dengan pilot-pilot komersial profesional yang pekerjaannya memang
menerbangkan pesawat!
Namun, kenyataannya mereka adalah otoritas resmi negara/dunia yang
menentukan hitam-putihnya dunia penerbangan.
Penerbangan
ke depan
Seperti bidang disiplin lain, dunia penerbangan juga mustahil menghindari
otomatisasi dalam pengoperasian pesawat terbang. Semakin maju teknologi
pesawat, pengoperasian secara manual semakin tidak dianjurkan.
Di pabrik Airbus A330 di Toulouse tidak ada pelajaran manual flying!
Sebaliknya, hampir semua simulator session mutlak harus diterbangkan
dengan autopilot.
Terbang ”manual” pada pesawat bersistem FBW sama sekali berbeda dengan
terbang manual pada pesawat konvensional karena pada FBW pilot memanipulasi
komputer, bukan menerbangkan pesawatnya.
Karena itu pula pada pesawat modern keadaan unusual attitude yang
menuntut keterampilan terbang pilot dan dapat mengakibatkan kecelakaan fatal
tidak mungkin terjadi.
Di abad ke-21 ini pilot tidak mungkin lagi melakukan kebiasaan
kapten-kapten senior kami saat saya masih kopilot muda: melepas autopilot dan
menerbangkan pesawat secara manual untuk melatih keterampilan manual menerbangkan
pesawat.
Kini, bila berani melakukan itu, sistem pesawat akan ”melapor” ke kantor
pusat dan pada kesempatan pertama pilot tersebut akan dipanggil chief pilot dan
disetrap baca manual lagi atau menulis paper ”prosedur” penerbangan yang baku.
Keterampilan terbang
manual memang kurang diperlukan karena pesawat modern menuntut otomatisasi
maksimum. ●
0 komentar:
Posting Komentar